Home » » SEJARAH MUSIK HARDCORE MASUK INDONESIA

SEJARAH MUSIK HARDCORE MASUK INDONESIA

Written By Unknown on Minggu, 17 Agustus 2014 | 11.12

sejarah hardcore masuk ke
indonesia
Awal Mula
Embrio kelahiran scene musik rock
underground di Indonesia sulit dilepaskan
dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an
sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya
God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy(Jakarta),
Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem
(Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel
(Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten.
Mereka inilah generasi pertama rocker
Indonesia. Istilah underground sendiri
sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil
sejak awal era 70- an. Istilah tersebut
digunakan majalah musik dan gaya hidup
pionir asal Bandung itu untuk
mengidentifikasi band-band yang memainkan
musik keras dengan gaya yang lebih `liar’
dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya.
Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang
dimainkan band- band tersebut di atas
bukanlah lagu karya mereka sendiri,
melainkan milik band-band luar negeri
macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black
Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas,
Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang
kontraproduktif ini kemudian mencatat
sejarah
namanya sempat mengharum di pentas
nasional. Sebut saja misalnya El Pamas,
Grass Rock (Malang), Power Metal
(Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla
(Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu
Log jugalah yang membidani lahirnya label
rekaman rock yang pertama di Indonesia,
Logiss Records. Produk pertama label ini
adalah album
ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis
tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset
di seluruh Indonesia.
Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia
waktu itu anak-anak muda sedang
mengalami demam musik thrash metal.
Sebuah perkembangan style musik metal
yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy
metal. Band- band yang menjadi gods-nya
antara lain Slayer, Metallica, Exodus,
Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga
Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di
Indonesia seperti Jakarta, Bandung,
Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali,
scene undergroundnya pertama kali lahir dari
genre musik ekstrem tersebut. Di Jakarta
sendiri komunitas metal pertama kali tampil
di depan publik pada awal tahun 1988.
Komunitas anak metal (saat itu istilah
underground belum populer) ini biasa hang
out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan
pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker
Head, selain nongkrong, anak-anak yang
hang out di sana oleh Tante Esther, owner
Pid Pub, diberi kesempatan untuk bisa
manggung di sana. Setiap malam minggu
biasanya selalu ada live show dari band-
band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-
band tersebut mengusung musik rock atau
metal.
Band-band yang sering hang out di scene
Pid Pub ini antara lain Roxx (Metallica &
Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura),
Commotion Of Resources (Exodus), Painfull
Death, Rotor (Kreator), Razzle (GN’R), Parau
(DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien
Scream (Obituary). Beberapa band diatas
pada perjalanan berikutnya banyak yang
membelah diri menjadi band-band baru.
Commotion Of Resources adalah cikal bakal
band gothic metal Getah, sedangkan Parau
adalah embrio band death metal lawas Alien
Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull
Death selanjutnya membentuk grup industrial
Sic Mynded di Amerika Serikat bersama Rudi
Soedjarwo (sutradara Ada Apa Dengan
Cinta?). Rotor sendiri dibentuk pada tahun
1992 setelah cabutnya gitaris Sucker Head,
Irvan Sembiring yang merasa konsep musik
Sucker Head saat itu masih kurang ekstrem
baginya.
Semangat yang dibawa para pendahulu ini
memang masih berkutat pola tradisi `sekolah
lama’, bangga menjadi band cover version! Di
antara mereka semua, hanya Roxx yang
beruntung bisa rekaman untuk single
pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi
karena mereka adalah salah satu finalis
Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat
kontrak rekaman dari label adalah obsesi
yang terlalu muluk saat itu. Jangankan
rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio
saja mereka sudah bahagia. Saat itu stasiun
radio yang rutin mengudarakan musik- musik
rock/metal adalah Radio Bahama, Radio
Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa
radio tersebut mungkin yang paling
legendaris adalah Radio Mustang. Mereka
punya program bernama Rock N’ Rhythm
yang
mengudara setiap Rabu malam dari pukul
19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan
sempat disatroni langsung oleh dedengkot
thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka
datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain
medium radio, media massa yang kerap
mengulas berita- berita rock/metal pada
waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra
Musik dan Majalah Vista.
Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan,
anak-anak metal ini sehari-harinya
nongkrong di pelataran Apotik Retna yang
terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan.
Beberapa selebritis muda yang dulu sempat
nongkrong bareng (groupies?) anak-anak
metal ini antara lain Ayu Azhari, Cornelia
Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi
hingga Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri
bahkan sempat dipersunting sebagai istri
oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang
merupakan vokalis Getah dan juga
mantan vokalis Rotor.
Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi
lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal
adalah Studio One Feel yang merupakan
studio latihan paling legendaris dan bisa
dibilang hampir semua band- band rock/
metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di
sini. Selain Pid Pub, venue alternatif tempat
band-band rock underground
manggung pada masa itu adalah Black Hole
dan restoran Manari Open Air di Museum
Satria Mandala (cikal bakal Poster Café).
Diluar itu, pentas seni MA dan acara musik
kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh
band-band metal tersebut. Beberapa pensi
yang historikal di antaranya adalah Pamsos
(SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA
Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara
musik kampus Universitas
Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma,
Universitas Indonesia (Depok), Unika
Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi
Indonesia (Serpong) hingga Universitas
Jayabaya (Pulomas).
Berkonsernya dua supergrup metal
internasional di Indonesia, Sepultura (1992)
dan Metallica (1993) memberi kontribusi
cukup besar bagi perkembangan band-band
metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama
setelah Sepultura sukses “membakar” Jakarta
dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis
album debut self-titled mereka di bawah
label Blackboard. Album kaset ini kelak
menjadi salah satu album speed metal klasik
Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami
pula oleh Rotor. Sukses membuka konser
fenomenal Metallica selama dua hari
berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor
lantas merilis album thrash metal major
labelnya yang pertama di Indonesia, Behind
The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan
rekomendasi dari manajer tur Metallica dan
honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka
konser Metallica, para personel Rotor (minus
drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke
negeri Paman Sam untuk mengadu nasib.
Sucker Head sendiri tercatat paling telat
dalam merilis album debut dibanding band
seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak
major label lokal, Aquarius
Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis
album `The Head Sucker’. Hingga kini Sucker
Head tercatat sudah merilis empat buah
album.
Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock
underground di tanah air, mungkin baru di
paruh pertama dekade 90-anlah mulai
banyak terbentuk scene-scene underground
dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di
Jakarta sendiri konsolidasi scene metal
secara masif berpusat di Blok M sekitar awal
1995. Kala itu sebagian anak-anak metal
sering
terlihat nongkrong di lantai 6 game center
Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba
terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang
out adalah bertukar informasi tentang band-
band lokal daninternasional, barter CD, jual-
beli t-shirt metal hingga merencanakan
pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang
lainnya memilih hang out di basement Blok
Mall yang kebetulan letaknya berada di
bawah tanah.
Pada era ini hype musik metal yang masif
digandrungi adalah subgenre yang makin
ekstrem yaitu death metal, brutal death
metal, grindcore, black metal hingga gothic/
doom metal. Beberapa band yang makin
mengkilap namanya di era ini adalah Grausig,
Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium
Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor,
Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya.
Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996
malah tercatat sebagai band yang pertama
kali merilis mini album secara independen di
Jakarta dengan judul `It’s A Proud To Vomit
Him’. Album ini direkam secara profesional di
Studio Triple M, Jakarta dengan sound
engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah
menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen
dan PAS).
Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran
fanzine musik underground pertama di
Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama
Brainwashed terbit 24 halaman dengan
menampilkan cover Grausig dan profil band
Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di
ketik di komputer berbasis system operasi
Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste
tradisional, Brainwashed kemudian
diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin
foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di
edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas
pula band-band hardcore, punk bahkan ska.
Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi,
di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak
ala majalah profesional dengan cover
penuh warna. Hingga tahun 1999
Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh
edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis
menggagas format e-zine di internet
(www.bisik.com). Media-media serupa yang
selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta
antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine,
Rottrevore zine, Cosmic zine dan
sebagainya.
29 September 1996 menandakan dimulainya
sebuah era baru bagi perkembangan rock
underground di Jakarta. Tepat pada hari
itulah digelar acara musik indie untuk
pertama kalinya di Poster Café. Acara
bernama “Underground Session” ini digelar
tiap dua minggu sekali pada malam hari
kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker
gaek
Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan
membesarkan scene musik indie baru yang
memainkan genre musik berbeda dan lebih
variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop,
ledakan musik ska yang fenomenal era 1997
– 2000 sampai tawuran massal bersejarah
antara sebagian kecil massa Jakarta dengan
Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah,
Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits,
Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU
Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet,
Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside,
Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi,
Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet
Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah
sebagian kecil band-band yang `kenyang’
manggung di sana.
10 Maret 1999 adalah hari kematian scene
Poster Café untuk selama- lamanya. Pada
hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara
musik di sana (Subnormal Revolution) yang
berujung kerusuhan besar antara massa punk
dengan warga sekitar hingga berdampak
hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya
aparat kepolisian dalam membubarkan
massa. Bubarnya Poster Café diluar dugaan
malah banyak melahirkan venue- venue
alternatif bagi masing-masing scene musik
indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan sering
digunakan scene musik ska, Pondok Indah
Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di
Cikini untuk scene Brit/indie pop, Parkit De
Javu Club di Menteng untuk gigs punk/
hardcore dan juga indie pop. Belakangan
BB’s Bar yang super- sempit di Menteng
sering disewa untuk acara garage rock-new
wave-mellow punk juga rock yang kini
sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai,
The Brandals, C’mon Lennon, Killed By
Butterfly, Sajama Cut,
Devotion dan banyak lagi. Di antara
semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan
digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café
yangterletak di basement Hotel Maharadja,
Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13
Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi
riwayat’ mereka dalam sebuah konser
bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last
Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band
Bandung ini sebelum membubarkan diri.
Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop
Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya
album Kiss This dari Sex Pistols pada tahun
1992 ternyata cukup menjadi trigger yang
ampuh dalam melahirkan band-band baru
yang tidak memainkan musik metal.
Misalnya saja band Pestol Aer dari
komunitas Young Offender yang diawal
kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu Sex
Pistols lengkap dengan dress-up punk dan
haircut mohawknya. Uniknya, pada
perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 1994,
Pestol Aer kemudian mengubah arah musik
mereka menjadi band yang mengusung genre
british/indie pop ala The Stone Roses.
Konon, peristiwa historik ini
kemudian menjadi momen yang cukup
signifikan bagi perkembangan scene british/
indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di
pertengahan 1997 mereka sempat merilis
album debut bertitel `…Jang Doeloe’.
Generasi awal dari scene brit pop ini antara
lain adalah band Rumahsakit, Wondergel,
Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut,
Room-V,
Parklife hingga Death Goes To The Disco.
Pestol Aer memang bukan band punk
pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat
melahirkan band punk/hardcore pionir
Antiseptic yang kerap memainkan nomor-
nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI
sampai Sex Pistols. Lukman (Waiting Room/
The Superglad) dan Robin (Sucker Head/
Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain
sering manggung di Jakarta, Antiseptic juga
sempat manggung di rockfest legendaris
Bandung, Hullabaloo II pada akhir 1994.
Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel
`Finally’ baru rilis delapan tahun kemudian
(1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif
seperti Ocean yang memainkan musik ala
Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya
mereka tidak sempat merilis rekaman.
Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga
mencetak band punk rock The Idiots yang
awalnya sering manggung meng-cover lagu-
lagu The Exploited. Nggak jauh berbeda
dengan Antiseptic, baru sembilan tahun
kemudian The Idiots merilis album debut
mereka yang bertitel `Living Comfort In
Anarchy’ via label indie Movement Records.
Komunitas-
komunitas punk/hardcore juga menjamur di
Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain
komunitas Young Offender tadi, ada pula
komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio
Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-
People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi,
Locos di Blok M hingga SID Gank di
Rawamangun.
Sementara rilisan klasik dari scene punk/
hardcore Jakarta adalah album kompilasi
Walk Together, Rock Together (Locos
Enterprise) yang rilis awal 1997 dan memuat
singel antara lain dari band Youth Against
Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty
Edge dan sebagainya. Album kompilasi
punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One,
Still Proud (Movement Records) yang
berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots,
Cryptical Death hingga Out Of Control.
Bandung scene
Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat
studio musik legendaris yang menjadi cikal
bakal scene rock underground di sana.
Namanya Studio Reverse yang terletak di
daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini
digagas oleh Richard Mutter (saat itu
drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin
berkembang Reverse lantas melebarkan
sayap bisnisnya dengan
membuka distro (akronim dari distribution)
yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta
berbagai aksesoris import lainnya. Selain
distro, Richard juga sempat membentuk label
independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya
di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang
bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-
band indie yang ikut serta di kompilasi ini
antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi,
Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting
Room, sebagai satu- satunya band asal
Jakarta.
Band-band yang sempat dibesarkan oleh
komunitas Reverse ini antara lain PAS dan
Puppen. PAS sendiri di tahun 1993
menorehkan sejarah sebagai band Indonesia
yang pertama kali merilis album secara
independen. Mini album mereka yang bertitel
“Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000
kaset dalam waktu yang cukup singkat.
Mastermind yang melahirkan ide merilis
album PAS secara independen tersebut
adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah
Music Director Radio GMR, sebuah stasiun
radio rock pertama di Indonesia yang kerap
memutar demo-demo rekaman band-band
rock amatir asal Bandung, Jakarta dan
sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut
ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman
Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang
mengejutkan, kematiannya ini, menurut
Krisna, diiringi lagu The End dari album Best
of The Doors yang diputarnya pada tape di
kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang
dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu
pionir hardcore lokal yang hingga akhir
hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga
album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II
(1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian
menyusul Pure Saturday dengan albumnya
yang self-titled. Album ini kemudian dibantu
promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga
mengalami hal yang sama, dengan cara
bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.
Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita
akan menemukan sebuah komunitas yang
menjadi episentrum underground metal di
sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di
daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang
banyak berjasa membesarkan band-band
underground cadas macam Jasad, Forgotten,
Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse,
Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan
sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal
1995 terbit fanzine musik pertama di
Indonesia yang bernama Revograms Zine.
Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic
Torment yang memiliki single unik berjudul
“Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat
sempat tiga kali terbit dan kesemua materi
isinya membahas band-band metal/hardcore
lokal maupun internasional.
Kemudian taklama kemudian fanzine indie
seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan
yang lainnya ikut meramaikan media indie.
Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah
yang membahas kecenderungan subkultur
Bandung dan jug lifestylenya. Trolley
bangkrut tahun 2002, sementara Ripple
berubah dari pocket magazine ke format
majalah standar. Sementara fanzine yang
umumnya fotokopian hingga kini masih terus
eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik
ekstrim yang maju tapi juga scene indie
popnya. Sejak Pure Saturday muncul,
berbagai band indie pop atau alternatif,
seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih
hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca,
Homogenic. Begitu pula scene ska yang
sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend
ska besar. Band seperti Noin Bullet dan
Agent Skins sudah lama mengusung genre
musik ini.
Siapapun yang pernah menyaksikan konser
rock underground di Bandung pasti takkan
melupakan GOR Saparua yang terkenal
hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi
band-band indie, venue ini laksana gedung
keramat yang penuh daya magis. Band luar
Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di
sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur
bawah tanah Bandung paling legendaris ini
adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock
show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung
Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah
penonton setiap acara-acara di atas
tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000
penonton! Tiket masuknya saja sampai
diperjualbelikan dengan harga fantastis
segala oleh para calo. Mungkin ini
merupakan rekor tersendiri yang belum
terpecahkan hingga saat ini di Indonesia
untuk ukuran rock show underground.
Sempat dijuluki sebagai barometer rock
underground di Indonesia, Bandung memang
merupakan kota yang menawarkan sejuta
gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan
scene nasional. Booming distro yang
melanda seluruh Indonesia saat ini juga
dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan
menjual album indie hingga puluhan ribu
keping yang dialami band Mocca juga
berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill,
band hardcore Indonesia yang pertama kali
teken kontrak dengan major label, Sony
Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini.
Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple
yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di
jaman sekarang, tetap loyal memberikan
porsi terbesar liputannya bagi band-band
indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony,
The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers,
The Milo, Teenage Death Star, Komunal
hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine
Bandung, Death Rock Star
(www.deathrockstar.tk) untuk
membuktikannya. Asli, kota yang satu ini
memang nggak ada matinya!
Scene Jogjakarta
Kota pelajar adalah julukan formalnya, tapi
siapa sangka kalau kota ini ternyata juga
menjadi salah satu scene rock underground
terkuat di Indonesia? Well, mari kita telusuri
sedikit sejarahnya. Komunitas metal
underground Jogjakarta salah satunya
adalah Jogja Corpsegrinder. Komunitas ini
sempat menerbitkan fanzine metal Human
Waste, majalah Megaton dan menggelar
acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg.
Hingga kini acara tersebut sudah
terselenggara sepuluh kali! Band-band metal
underground lawas dari kota ini antara lain
Death Vomit, Mortal Scream, Impurity, Brutal
Corpse, Mystis, Ruction.
Untuk scene punk/hardcore/industrial-nya
yang bangkit sekitar awal 1997 tersebutlah
nama Sabotage, Something Wrong, Noise For
Violence, Black Boots, DOM 65, Teknoshit
hingga yang paling terkini, Endank Soekamti.
Sedangkan untuk scene indie rock/pop,
beberapa nama yang patut di highlight
adalah Seek Six Sick, Bangkutaman,
Strawberry’s Pop sampai The Monophones.
Selain itu, band ska paling keren yang pernah
terlahir di Indonesia, Shaggy Dog, juga
berasal dari kota ini. Shaggy Dog yang kini
dikontrak EMI belakangan malah sedang
asyik menggelar tur konser keliling Eropa
selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga
pernah menggelar Parkinsound, sebuah
festival musik elektronik yang pertama di
Indonesia. Parkinsound #3 yang
diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001 silam di
antaranya menampilkan Garden Of The Blind,
Mock Me Not, Teknoshit, Fucktory,
Melancholic Bitch hingga
Mesin Jahat.
Scene Surabaya
Scene underground rock di Surabaya bermula
dengan semakin tumbuh-berkembangnya
band-band independen beraliran death
metal/grindcore sekitar pertengahan tahun
1995. Sejarah terbentuknya berawal dari
event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair
di DKI - Red) dimana band- band
underground metal seperti, Slowdeath,
Torture, Dry, Venduzor, Bushido manggung di
sebuah acara musik di event tersebut.
Setelah event itu masing-masing band
tersebut kemudian sepakat untuk mendirikan
sebuah organisasi yang bernama Independen.
Base camp dari organisasi yang tujuan
dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta
sarana sosialisasi informasi antar musisi/
band underground metal ini waktu itu
dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau
tepatnya di studio milik band Retri Beauty
(band death metal dengan semua
personelnya cewek, kini RIP - Red). Anggota
dari organisasi yang merupakan cikal bakal
terbentuknya scene underground metal di
Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya
sekitar 7-10 band saja.
Rencana pertama Independen waktu itu
adalah menggelar konser underground rock di
Taman Remaja, namun rencana ini ternyata
gagal karena kesibukan melakukan
konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin
jelas dan mulai berkembangnya scene
underground metal di Surabaya pada akhir
bulan Desember 1997 organisasi Independen
resmi dibubarkan. Upaya ini dilakukan demi
memperluas jaringan agar semakin tidak
tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak
komunitasnya.
Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya
organisasi Independen, divisi record label
mereka tercatat sempat merilis beberapa
buah album milik band-band death metal/
grindcore Surabaya. Misalnya debut album
milik Slowdeath yang bertitel “From Mindless
Enthusiasm to Sordid Self-
Destruction” (September 96), debut album Dry
berjudul “Under The Veil of Religion” (97),
Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat
“Cemetery of Celerage” hingga debut album
milik Fear Inside
yang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun
berikutnya barulah underground metal di
Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album
milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath
hingga Pejah.
Sebagai ganti Independen kemudian
dibentuklah Surabaya Underground Society
(S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di
kampus Universitas 45, saat
diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di
Surabaya juga telah banyak bermunculan
band-band baru dengan aliran musik black
metal. Salah satu band death metal lama
yaitu, Dry kemudian berpindah konsep musik
seiring dengan derasnya pengaruh musik
black metal di Surabaya kala itu.
Hanya bertahan kurang lebih beberapa bulan
saja, S.U.S di tahun yang sama dilanda
perpecahan di dalamnya. Band-band yang
beraliran black metal kemudian berpisah
untuk membentuk sebuah wadah baru
bernama ARMY OF DARKNESS yang memiliki
basis lokasi di daerah Karang Rejo. Berbeda
dengan black metal, band-band death metal
selanjutnya memutuskan tidak ikut
membentuk organisasi baru. Selanjutnya di
bulan September 1997 digelar event AMUK II
di IKIP Surabaya. Event ini kemudian
mencatat sejarah sendiri sebagai event
paling sukses di Surabaya kala itu. 25 band
death metal dan black metal tampil sejak
pagi hingga sore hari dan ditonton oleh
kurang lebih 800 – 1000 orang. Arwah, band
black metal asal Bekasi juga turut tampil di
even tersebut sebagai band undangan.
Scene ekstrem metal di Surabaya pada masa
itu lebih banyak didominasi oleh band-band
black metal dibandingkan band death metal/
grindcore. Mereka juga lebih intens dalam
menggelar event-event musik black metal
karena banyaknya jumlah band black metal
yang muncul. Tercatat kemudian event black
metal yang sukses digelar di Surabaya
seperti ARMY OF DARKNESS I dan II.
Tepat tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah
komunitas underground INFERNO 178 yang
markasnya terletak di daerah Dharma Husada
(Jl. Prof. DR. Moestopo,Red). Di tempat yang
agak mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini
tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu,
distro, studio musik, indie label, fanzine,
warnet dan event organizer untuk acara-
acara underground di Surabaya. Event-event
yang pernah di gelar oleh INFERNO 178
antara lain adalah, STOP THE MADNESS,
TEGANGAN TINGGI I & II hingga
BLUEKHUTUQ LIVE.
Band-band underground rock yang kini
bernaung di bawah bendera INFERNO 178
antara lain, Slowdeath, The Sinners, Severe
Carnage, System Sucks, Freecell, Bluekuthuq
dan sebagainya. Fanzine metal asal
komunitas INFERNO 178, Surabaya bernama
POST MANGLED pertama kali terbit kala itu
di event TEGANGAN TINGGI I di kampus Unair
dengan tampilnya band-band punk rock dan
metal. Acara ini tergolong kurang sukses
karena pada waktu yang bersamaan juga
digelar sebuah event black metal. Sayangnya,
hal ini juga diikuti dengan mandegnya proses
penggarapan POST MANGLED Zine yang
tidak kunjung mengeluarkan edisinya yang
terbaru hingga kini.
Maka, untuk mengantisipasi terjadinya
stagnansi atau kesenjangan informasi di
dalam scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS
Newsletter yang terbit pertama kali bulan
Februari 1999. Newsletter dengan format
fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman
itu banyak mengulas berbagai aktivitas musik
underground metal, punk hingga HC tak
hanya di Surabaya saja tetapi lebih luas lagi.
Respon positif pun menurut mereka lebih
banyak datang justeru dari luar kota
Surabaya itu sendiri. Entah mengapa,
menurut mereka publik underground rock di
Surabaya kurang apresiatif dan minim
dukungannya terhadap publikasi independen
macam fanzine atau newsletter tersebut.
Hingga akhir hayatnya GARIS KERAS
Newsletter telah menerbitkan edisinya hingga
ke- 12.
Divisi indie label dari INFERNO 178 paling
tidak hingga sekitar 10 rilisan album masih
tetap menggunakan nama Independen
sebagai nama label mereka. Baru memasuki
tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178
Productions resmi memproduksi album band
punk tertua di Surabaya, The Sinners yang
berjudul “Ajang Kebencian”. Selanjutnya label
INFERNO 178 ini akan lebih berkonsentrasi
untuk merilis produk- produk berkategori
non-metal. Sedangkan untuk label khusus
death metal/brutal death/grindcore
dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records
oleh Samir (kini gitaris TENGKORAK) dengan
album kedua Slowdeath yang bertitel
“Propaganda” sebagai proyek pertamanya
yang dibarengi pula dengan menggelar
konser promo tunggal Slowdeath di Café
Flower sekitar bulan September 2000 lalu
yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album
ini sempat mencatat sold out walau masih
dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200
keping tanpa sisa.
Scene Malang
Kota berhawa dingin yang ditempuh sekitar
tiga jam perjalanan dari Surabaya ini
ternyata memiliki scene rock underground
yang “panas” sejak awal dekade 90-an.
Tersebutlah nama Total Suffer Community
(T.S.C) yang menjadi motor penggerak bagi
kebangkitan komunitas rock underground di
Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas
ini terdiri dari berbagai macam musisi lintas-
scene, namun dominasinya tetap
saja anak-anak metal. Konser rock
underground yang pertama kali digelar di
kota Malang diorganisir pula oleh komunitas
ini. Acara bertajuk Parade Musik
Underground tersebut digelar di Gedung
Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli
1996 dengan menampilkan band-band lokal
Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual
Orchestra (black metal),Sekarat (death
metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace
(industrial
death metal), No Man’s Land (punk), The
Babies (punk) dan juga band-band asal
Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The
Sinners (punk).
Beberapa band Malang lainnya yang patut di
beri kredit antara lain Keramat, Perish,
Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten
Corpse. Band yang terakhir disebut malah
menjadi pelopor style brutal death metal di
Indonesia. Album debut mereka yang
bertitel “Maggot Sickness” saat itu
menggemparkan scene metal di Jakarta,
Bandung, Jogjakarta dan Bali karena
komposisinya yang solid dan kualitas
rekamannya yang top notch. Belakangan
band ini pecah menjadi dua dan salah satu
gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke
Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota
inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik
di Indonesia. Namanya Mindblast zine yang
diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril
dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri
merupakan eks-vokalis band Grindpeace
yang kini eksis di band crust-grind gawat,
Extreme Decay. Sementara indie label pionir
yang hingga kini masih bertahan serta tetap
produktif merilis album di Malang adalah
Confused Records
Scene Bali
Berbicara scene underground di Bali kembali
kita akan menemukan komunitas metal
sebagai pelopornya. Penggerak awalnya
adalah komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di
Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara lain,
Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner
dan Sabdo Moelyo. Dede adalah editor
majalah metal Megaton yang terbit di
Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu
pionir webzine metal Indonesia
Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak
1998, Age adalah pengusaha distro yang
pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/
vokalis band death metal etnik, Eternal
Madness yang aktif menggelar konser
underground di sana. Nama 1921 sebenarnya
diambil dari durasi siaran program musik
metal mingguan di Radio Cassanova, Bali
yang
berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00
WITA.
Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-
masing individunya jalan sendiri-sendiri.
Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20
Oktober 1996 menggelar konser underground
besar pertama di Bali bernama Total Uyut di
GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali
yang tampil diantaranya Eternal Madness,
Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple
Punk, Phobia, Asmodius hingga Death
Chorus. Sementara band- band luar Balinya
adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad,
Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan
Death Vomit (Jogjakarta). Konser ini sukses
menyedot sekitar 2000 orang penonton dan
hingga sekarang menjadi festival rock
underground tahunan di sana. Salah satu
alumni Total Uyut yang sekarang sukses
besar ke seantero nusantara adalah band
punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka
malah menjadi band punk pertama di
Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony
Music Indonesia. Band-band indie Bali masa
kini yang stand out di antaranya adalah
Navicula, Postmen, The Brews, Telephone,
Blod Shot Eyes
dan tentu saja Eternal Madness yang tengah
bersiap merilis album ke tiga mereka dalam
waktu dekat.
Memasuki era 2000-an scene indie Bali
semakin menggeliat. Kesuksesan S.I.D
memberi inspirasi bagi band-band Bali
lainnya untuk berusaha lebih keras lagi, toh
S.I.D secara konkret sudah membuktikan
kalau band `putera daerah’ pun sanggup
menaklukan kejamnya industri musik ibukota.
Untuk mendukung band-band Bali, drummer
S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya
kemudian membuka The Maximmum Rock N’
Roll Monarchy (The Max), sebuah pub musik
yang berada di jalan Poppies, Kuta.
Seringkali diadakan acara rock reguler di
tempat ini.
Indie Indonesia Era 2000-an
Bagaimana pergerakan scene musik
independen Indonesia era 2000-an?
Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas
memberikan kontribusi besar bagi
perkembangan scene ini. Akses informasi dan
komunikasi yang terbuka lebar membuat
jaringan (networking) antar komunitas ini
semakin luas di Indonesia. Band-band dan
komunitas-komunitas baru banyak
bermunculan dengan menawarkan style
musik yang lebih beragam. Trend indie label
berlomba-lomba merilis album band-band
lokal juga menggembirakan, minimal ini
adalah upaya pendokumentasian sejarah
yang berguna puluhan tahun ke depan.
Yang menarik sekarang adalah dominasi
penggunaan idiom `indie’ dan bukan
underground untuk mendefinisikan sebuah
scene musik non- mainstream lokal. Sempat
terjadi polemik dan perdebatan
klasikmengenai istilah `indie atau
underground’ ini di tanah air. Sebagian orang
memandang istilah `underground’ semakin
bias karena kenyataannya kian hari semakin
banyak band-band underground yang `sell-
out’, entah itu dikontrak major label,
mengubah style musik demi kepentingan
bisnis atau laris manis menjual album
hingga puluhan ribu keping. Sementara
sebagian lagi lebih senang menggunakan
idiom indie karena lebih `elastis’ dan
misalnya, lebih friendly bagi band-band yang
memang tidak memainkan style musik
ekstrem. Walaupun terkesan lebih
kompromis, istilah indie ini belakangan juga
semakin sering digunakan oleh media massa
nasional, jauh
meninggalkan istilah ortodoks `underground’
itu tadi.
Ditengah serunya perdebatan indie/
underground, major label atau indie label,
ratusan band baru terlahir, puluhan indie
label ramai- ramai merilis album, ribuan
distro/clothing shop dibuka di seluruh
Indonesia. Infrastruktur scene musik non-
mainstream ini pun kian established dari hari
ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi
dengan polarisasi indie-major label yang
makin tidak substansial. Bermain musik
sebebas mungkin sembari bersenang-senang
lebih menjadi `panglima’ sekarang ini.
…And history is still in the making here…..
---------------------------------------------
--------------
*Gambar akan menyusul, sangat sulit
mencari tampilan band2 tersebut apalagi
generasi lawas yang kerap mengcover version
lagu2 band luar era 60-70 an.
** Mencari majalah Aktuil ..sulitnya, untuk
referensi band- band masa kini, sudah
sangat banyak tersedia di Internet.Sejarah
Music Rock Indonesia - Scene Punk/
Hardcore/Brit/Indie Pop
Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya
album Kiss This dari s** Pistols pada tahun
1992 ternyata cukup menjadi trigger yang
ampuh dalam melahirkan band-band baru
yang tidak memainkan musik metal.
Misalnya saja band Pestol Aer dari
komunitas Young Offender yang diawal
kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu s**
Pistols lengkap dengan dress-up punk dan
haircut mohawknya. Uniknya, pada
perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 1994,
Pestol Aer kemudian mengubah arah musik
mereka menjadi band yang mengusung genre
british/indie pop ala The Stone Roses.
Konon, peristiwa historik ini kemudian
menjadi momen yang cukup signifikan bagi
perkembangan scene british/indie pop di
Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997
mereka sempat merilis album debut bertitel
`…Jang Doeloe’. Generasi awal dari scene brit
pop ini antara lain adalah band Rumahsakit,
Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish,
Jepit Rambut, Room-V, Parklife hingga Death
Goes To The Disco.
Pestol Aer memang bukan band punk
pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat
melahirkan band punk/hardcore pionir
Antiseptic yang kerap memainkan nomor-
nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI
sampai s** Pistols. Lukman (Waiting Room/
The Superglad) dan Robin (Sucker Head/
Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain
sering manggung di Jakarta, Antiseptic juga
sempat manggung di rockfest legendaris
Bandung, Hullabaloo II pada akhir 1994.
Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel
`Finally’ baru rilis delapan tahun kemudian
(1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif
seperti Ocean yang memainkan musik ala
Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya
mereka tidak sempat merilis rekaman.
Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga
mencetak band punk rock The Idiots yang
awalnya sering manggung meng-cover lagu-
lagu The Exploited. Nggak jauh berbeda
dengan Antiseptic, baru sembilan tahun
kemudian The Idiots merilis album debut
mereka yang bertitel `Living Comfort In
Anarchy’ via label indie Movement Records.
Komunitas- omunitas punk/hardcore juga
menjamur di Jakarta pada era 90-an
tersebut. Selain komunitas Young Offender
tadi, ada pula komunitas South s** (SS) di
kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa
Gading, Semi-People di Duren Sawit,
Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga
SID Gank di Rawamangun.
Sementara rilisan klasik dari scene punk/
hardcore Jakarta adalah album kompilasi
Walk Together, Rock Together (Locos
Enterprise) yang rilis awal 1997 dan memuat
singel antara lain dari band Youth Against
Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty
Edge dan sebagainya. Album kompilasi
punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One,
Still Proud (Movement Records) yang
berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots,
Cryptical Death hingga Out Of Control.
sumber : http://tomivesbod.blogspot.com
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. MUSIK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger